Brai Seni Sholawatan Indramayu Cirebon
Indramayu - Brai adalah suatu jenis nyanyian di daerah Cirebon dan Indramayu, Jawa Barat, sejenis slawatan atau terbangan yang terdapat pada masyarakat Muslim di banyak daerah di Nusantara.
Bentuknya berupa nyanyian, solo dan koor, berganti-ganti atau berbarengan, dengan syair-syair keagamaan, dalam bahasa Arab (seperti Al Barzanji) ataupun dalam bahasa setempat--dalam kasus brai adalah bahasa Jawa Cirebon.
Frasa-frasa syairnya yang paling dominan adalah dari ayat suci Quran, tauhid, yang berkenaan dengan keimanan atau keilahian, seperti "La illaha ilallah" dan "Astagfilullah aladzim."
Brai diiringi oleh rebana besar, yang juga disebut brai. Atas dasar itu, ada yang mengatakan bahwa nama "brai" diambil dari nama suara (anomatopoik) rebana besar tersebut, yang berbunyi "ber..." atau "bray..." Selain rebana, dalam brai juga terdapat sebuah gendang besar (kendang gede) yang sama bentuk dan ukurannya dengan gendang besar yang biasa dipakai dalam gamelan Cirebon. Karena itu, brai merupakan suatu contoh musik yang merupakan perpaduan kental antara musik (budaya) Islam dengan budaya setempat.
Dari lagunya, tidak terdengar sebagai musik Timur-Tengah, atau yang biasa disebut dengan nada gurun pasir., melainkan lebih pada nada-nada setempat, slendro dan pelog. Dan demikian pula iramanya.
Brai biasa dimainkan pada upacara-upacara keagamaan, seperti pada tanggal belasan sampai duapuluhan bulan Muharam (lailatul qadar), Maulid Nabi, kelahiran bayi, selamatan rumah, selamatan di makam, dll.
Ia tidak biasa dan memang bukan dimaksudkan sebagai seni hiburan dalam panggung untuk untuk ditonton oleh banyak. Bahkan beberapa grup sering mengadakan pertunjukan yang tidak ada penontonnya sama sekali, misalnya sebagai ritual di kuburan dan tempat-tempat keramat lain.
Grup brai di Bayalangu (Cirebon) misalnya, paling tidak sampai tahun 1990-an biasa mengadakan pertunjukan di 9 tempat yang dikeramatkan. Selain itu, walau tempatnya jauh dari kampungnya, sekitar 30-40 KM, setiap tahun mereka juga mengadakan pertunjukan di makam Gung Jati dan Buyut Trusmi, Namun demikian, terutama setelah makin tingginya perhatian masyarakat dan pemerintah pada seni-seni lokal, brai biasa juga ditampilkan pada acara-acara festival yang diadakan di kota-kota. (Endo Suanda)
Bentuknya berupa nyanyian, solo dan koor, berganti-ganti atau berbarengan, dengan syair-syair keagamaan, dalam bahasa Arab (seperti Al Barzanji) ataupun dalam bahasa setempat--dalam kasus brai adalah bahasa Jawa Cirebon.
Frasa-frasa syairnya yang paling dominan adalah dari ayat suci Quran, tauhid, yang berkenaan dengan keimanan atau keilahian, seperti "La illaha ilallah" dan "Astagfilullah aladzim."
Brai diiringi oleh rebana besar, yang juga disebut brai. Atas dasar itu, ada yang mengatakan bahwa nama "brai" diambil dari nama suara (anomatopoik) rebana besar tersebut, yang berbunyi "ber..." atau "bray..." Selain rebana, dalam brai juga terdapat sebuah gendang besar (kendang gede) yang sama bentuk dan ukurannya dengan gendang besar yang biasa dipakai dalam gamelan Cirebon. Karena itu, brai merupakan suatu contoh musik yang merupakan perpaduan kental antara musik (budaya) Islam dengan budaya setempat.
Dari lagunya, tidak terdengar sebagai musik Timur-Tengah, atau yang biasa disebut dengan nada gurun pasir., melainkan lebih pada nada-nada setempat, slendro dan pelog. Dan demikian pula iramanya.
Brai biasa dimainkan pada upacara-upacara keagamaan, seperti pada tanggal belasan sampai duapuluhan bulan Muharam (lailatul qadar), Maulid Nabi, kelahiran bayi, selamatan rumah, selamatan di makam, dll.
Ia tidak biasa dan memang bukan dimaksudkan sebagai seni hiburan dalam panggung untuk untuk ditonton oleh banyak. Bahkan beberapa grup sering mengadakan pertunjukan yang tidak ada penontonnya sama sekali, misalnya sebagai ritual di kuburan dan tempat-tempat keramat lain.
Grup brai di Bayalangu (Cirebon) misalnya, paling tidak sampai tahun 1990-an biasa mengadakan pertunjukan di 9 tempat yang dikeramatkan. Selain itu, walau tempatnya jauh dari kampungnya, sekitar 30-40 KM, setiap tahun mereka juga mengadakan pertunjukan di makam Gung Jati dan Buyut Trusmi, Namun demikian, terutama setelah makin tingginya perhatian masyarakat dan pemerintah pada seni-seni lokal, brai biasa juga ditampilkan pada acara-acara festival yang diadakan di kota-kota. (Endo Suanda)
Post a Comment