Samin, Bertekad Terus Sekolah Hingga Bangku Kuliah
Indramayu - Berat nian perjalanan hidup yang dilalui Sanim (17) warga RT 04/01 Desa Sudikampiran, Kec Sliyeg yang juga tercatat sebagai siswa kelas XI SMK Teladan Kertasemaya. Pasalnya meski masih usia sekolah, namun ia sudah dituntut untuk mandiri. Untuk menyambung hidupnya dan juga Nia (11) adik semata wayangnya yang menderita kelumpuhan sejak lahir, ia harus membanting tulang sendiri.
Penyebabnya adalah karena orang tuanya bercerai, kemudian setelah ibunya kawin lagi, dan setelah mengandung anak ke duanya, ibunya ditinggal pergi oleh suaminya. Sementara ayah Sanim sendiri yang menetap di Desa Panguragan Cirebon belakangan diketahui menderita penyakit stroke. Penderitaan Sanim lengkap sudah ketika pada tahun 2008 ibunya meniggal dunia, setelah itu praktis Sanim meski tidak siap, harus menjadi orang tua juga kakak bagi Nia.
Hebatnya, meski keadaannya kurang beruntung, namun tidak menyurutkan semangatnya untuk tetap sekolah. Namun, karena serba terbatas itu, maka dalam pergi-pulang (PP) ke SMK Teladan Kertasemaya tempatnya menimba ilmu, dengan jarak tempuh sekira empat Km, ia lalui dengan sepeda tuanya yang selama ini setia menemaninya. Kemiskinan tidak menyurutkan semangat Sanim untuk tetap sekolah, kata Tarsem (60) uwa Sanim di kediamannya, Minggu (13/9).
Dikatakan, Sanim terlahir dari keluarga yang kurang harmonis, pada usianya yang ke 5, orang tuanya bercerai, kemudian selang setahun ibunya menikah lagi dengan Kadimah penduduk Desa Jemaras Kertasemaya, namun usia pernikahannya tidak langgeng karena sejak Kutinih mengandung anak keduanya yang belakangan diketahui bernama Nia, Kadimah pergi tanpa pesan. Sejak saat itu, Sanim kecil dilatih untuk mandiri, katanya.
Sejak ibunya meninggal dunia pada tahun 2008 kemarin, mau tidak mau Sanim harus menjadi tulang punggung keluarganya. Ia dituntut untuk menghidupi dirinya juga adiknya. Karena tuntutan ekonomi yang teramat berat, makanya Sanim tidak pernah menikmati masa remajanya, karena masa remajanya ia habiskan untuk bekerja. Seusai pulang sekolah, bukannya main seperti anak seusianya, namun Sanim langsung bekerja di pabrik tahu, kata Tarsem.
Tarsem menambahkan, sejak Nia mendapatkan bantuan kursi roda dari Camat Sliyeg, melalui program rakyat ketemu camat (RKC), ia merasa lebih ringan untuk menjaga Nia. Atas bantuan kursi roda dari Pak Camat Sliyeg, juga tokoh masyarakat Kec Sliyeg/pihak lain yang tidak bisa disebutkan satu persatu, saya mengucapkan ribuan terima kasih, semoga dengan adanya kursi roda tersebut, aktifitas Sanim baik sekolah maupun bekerja tidak terganggu, tambahnya.
Sanim sendiri pastinya merasa bersyukur dengan adanya bantuan kursi roda itu, karena setelah adanya bantuan tersebut maka aktifitas untuk menjaga Nia lebih ringan, begitu pula dalam menggeluti pekerjaannya ia merasa lebih tenang. Dengan adanya bantuan kursi roda, maka dalam melakukan aktifitas sekolah maupun bekerja di pabrik tahu, saya tidak was-was lagi terhadap keadaan Nia, ujar Sanim memulai ceritanya.
Ia mengaku, meski dengan penghasilan yang serba pas pasan sekira Rp16.000, namun ia tetap tabah dalam mengarungi bahtera kehidupannya. Saya terlahir dari keluarga yang tidak mampu, karena tidak mampunya orang tua. Sampai-sampai rumahpun tidak punya, maka untuk tempat tinggalnya, numpang di rumah uwa Tarsem. Beruntung uwa sangat perhatian terhadap saya dan Nia, jelasnya.
Ke depan kata Sanim, ia bertekad akan menyelesaikan sekolahnya hingga bangku kuliah. Oleh karenanya, melalui mimbar ini, Sanim berharap ada orang tua asuh yang akan siap membantu untuk membiayai sekolahnya. Melalui mimbar ini, saya mengetuk hati para dermawan untuk membiayai kelanjutan sekolah saya hingga bangku kuliah, pungkasnya. (ck-103)
Penyebabnya adalah karena orang tuanya bercerai, kemudian setelah ibunya kawin lagi, dan setelah mengandung anak ke duanya, ibunya ditinggal pergi oleh suaminya. Sementara ayah Sanim sendiri yang menetap di Desa Panguragan Cirebon belakangan diketahui menderita penyakit stroke. Penderitaan Sanim lengkap sudah ketika pada tahun 2008 ibunya meniggal dunia, setelah itu praktis Sanim meski tidak siap, harus menjadi orang tua juga kakak bagi Nia.
Hebatnya, meski keadaannya kurang beruntung, namun tidak menyurutkan semangatnya untuk tetap sekolah. Namun, karena serba terbatas itu, maka dalam pergi-pulang (PP) ke SMK Teladan Kertasemaya tempatnya menimba ilmu, dengan jarak tempuh sekira empat Km, ia lalui dengan sepeda tuanya yang selama ini setia menemaninya. Kemiskinan tidak menyurutkan semangat Sanim untuk tetap sekolah, kata Tarsem (60) uwa Sanim di kediamannya, Minggu (13/9).
Dikatakan, Sanim terlahir dari keluarga yang kurang harmonis, pada usianya yang ke 5, orang tuanya bercerai, kemudian selang setahun ibunya menikah lagi dengan Kadimah penduduk Desa Jemaras Kertasemaya, namun usia pernikahannya tidak langgeng karena sejak Kutinih mengandung anak keduanya yang belakangan diketahui bernama Nia, Kadimah pergi tanpa pesan. Sejak saat itu, Sanim kecil dilatih untuk mandiri, katanya.
Sejak ibunya meninggal dunia pada tahun 2008 kemarin, mau tidak mau Sanim harus menjadi tulang punggung keluarganya. Ia dituntut untuk menghidupi dirinya juga adiknya. Karena tuntutan ekonomi yang teramat berat, makanya Sanim tidak pernah menikmati masa remajanya, karena masa remajanya ia habiskan untuk bekerja. Seusai pulang sekolah, bukannya main seperti anak seusianya, namun Sanim langsung bekerja di pabrik tahu, kata Tarsem.
Tarsem menambahkan, sejak Nia mendapatkan bantuan kursi roda dari Camat Sliyeg, melalui program rakyat ketemu camat (RKC), ia merasa lebih ringan untuk menjaga Nia. Atas bantuan kursi roda dari Pak Camat Sliyeg, juga tokoh masyarakat Kec Sliyeg/pihak lain yang tidak bisa disebutkan satu persatu, saya mengucapkan ribuan terima kasih, semoga dengan adanya kursi roda tersebut, aktifitas Sanim baik sekolah maupun bekerja tidak terganggu, tambahnya.
Sanim sendiri pastinya merasa bersyukur dengan adanya bantuan kursi roda itu, karena setelah adanya bantuan tersebut maka aktifitas untuk menjaga Nia lebih ringan, begitu pula dalam menggeluti pekerjaannya ia merasa lebih tenang. Dengan adanya bantuan kursi roda, maka dalam melakukan aktifitas sekolah maupun bekerja di pabrik tahu, saya tidak was-was lagi terhadap keadaan Nia, ujar Sanim memulai ceritanya.
Ia mengaku, meski dengan penghasilan yang serba pas pasan sekira Rp16.000, namun ia tetap tabah dalam mengarungi bahtera kehidupannya. Saya terlahir dari keluarga yang tidak mampu, karena tidak mampunya orang tua. Sampai-sampai rumahpun tidak punya, maka untuk tempat tinggalnya, numpang di rumah uwa Tarsem. Beruntung uwa sangat perhatian terhadap saya dan Nia, jelasnya.
Ke depan kata Sanim, ia bertekad akan menyelesaikan sekolahnya hingga bangku kuliah. Oleh karenanya, melalui mimbar ini, Sanim berharap ada orang tua asuh yang akan siap membantu untuk membiayai sekolahnya. Melalui mimbar ini, saya mengetuk hati para dermawan untuk membiayai kelanjutan sekolah saya hingga bangku kuliah, pungkasnya. (ck-103)
Post a Comment