Perlu Solusi Agar Jatibarang Tak Macet
Indramayu - Ibarat sebuah kewajiban, jika pada hari Raya Idul Fitri (Lebaran) tidak membeli dan memakai baju baru, serasa hambar merayakan nya. Berangkat dari pandangan inilah, sebisanya orang tua banting tulang demi membeli apa saja untuk anaknya yang penting melekat di badan berpenampilan baru. Menurut mereka, jika memakai baju baru, seakan timbul semangat baru.
Seperti halnya dijumpai di sepanjang jalan Mayor Dasuki Jatibarang, ribuan warga yang berasal dari penjuru Kab Indramayu pada hari pasaran Minggu (6/9) berbondong-bondong membeli berbagai macam keperluan.
Mereka umumnya membeli baju walau hari raya masih tiga kali hari pasaran lagi, yaitu antara hari Rabu dan Minggu. Saya sengaja membeli baju sedini mungkin agar harganya agak miring dan tidak terburu-buru,ujar Kunaerih (45) warga Desa Lohbener sebagai salah satu dari ribuan pengunjung.
Kata Kunaerih, membeli baju pada pedagang baju lemprakan, harus hati-hati. Kehati-hatian ini bukan karena takut kejeblos harganya karena tak pandai menawar, namun pada saat-saat berjubel seperti pada satu atau dua mingu lagi lebaran, merupakan kesempatan emas bagi para copet beraksi.
Pernah hampir saja saya dicopet. Waktu itu tak curiga sama-sama membeli kain sarung. Sarung pura-pura dibeber dengan cara menutup dompet saya. Beruntung tangan ini terasa ketika dompet disobek pakai silet, kenangnya.
Banyaknya warga di sepanjang jalan yang dulunya langganan macet sebelum ada jalan membentang arah Widasari-Lohbener ini, tetap saja macet. Sangat maklum, lebar jalan sepanjang kurang lebih satu kilometer dari simpang tiga Widasari sampai lampu merah Jatibarang, tidak sanggup menanggung kuantitas pengunjung apalagi menghadapi masa-masa lebaran.
Memang para pedagang pakaian ini bukan saja berjejer di sepanjang jalan protokol, namun menyelinap masuk ke gang-gang sempit bahkan di bantaran sungai Sindupraja. Keluhan kemacetan banyak disampaikan warga, salah satunya Abdul Jabar (40). Saya paling sungkan kalau membawa motor melintas di hari pasaran Jatibarang, ungkapnya. Sebagai pekerja di kantor sebuah BPR jalan Letnan Joni, ia pernah terjebak macet sampai 20 menit. Untuk menyiasatinya, terpaksa harus melintas ke arah Desa Bulak walau menuju ke kantornya menjadi lebih jauh sekitar tiga kilometeran.
Sejauh ini pengelolaan pasar lemprakan yang datang dua kali dalam satu minggu ini telah berjalan bertahun-tahun. Hubungan saling menguntungkan telah terjalin lama pula, baik pendapatan tukang parkir, keamanan maupun tumbuhnya pedagang-pedagang ikutan di samping menggeliatnya dunia usaha termasuk perbankan.
Jatibarang memang layak menjadi sentra perdagangan, jika diarahkan pada sentra tersebut, bisakah kesemrawutan pedagang diatasi agar menjadi pedagang yang benar-benar terdidik oleh para pemangku kepentingan. Terdidiknya pedagang, salah satu cermin siapnya kota Jatibarang menjadi kota Pendidikan. (khal)
Seperti halnya dijumpai di sepanjang jalan Mayor Dasuki Jatibarang, ribuan warga yang berasal dari penjuru Kab Indramayu pada hari pasaran Minggu (6/9) berbondong-bondong membeli berbagai macam keperluan.
Mereka umumnya membeli baju walau hari raya masih tiga kali hari pasaran lagi, yaitu antara hari Rabu dan Minggu. Saya sengaja membeli baju sedini mungkin agar harganya agak miring dan tidak terburu-buru,ujar Kunaerih (45) warga Desa Lohbener sebagai salah satu dari ribuan pengunjung.
Kata Kunaerih, membeli baju pada pedagang baju lemprakan, harus hati-hati. Kehati-hatian ini bukan karena takut kejeblos harganya karena tak pandai menawar, namun pada saat-saat berjubel seperti pada satu atau dua mingu lagi lebaran, merupakan kesempatan emas bagi para copet beraksi.
Pernah hampir saja saya dicopet. Waktu itu tak curiga sama-sama membeli kain sarung. Sarung pura-pura dibeber dengan cara menutup dompet saya. Beruntung tangan ini terasa ketika dompet disobek pakai silet, kenangnya.
Banyaknya warga di sepanjang jalan yang dulunya langganan macet sebelum ada jalan membentang arah Widasari-Lohbener ini, tetap saja macet. Sangat maklum, lebar jalan sepanjang kurang lebih satu kilometer dari simpang tiga Widasari sampai lampu merah Jatibarang, tidak sanggup menanggung kuantitas pengunjung apalagi menghadapi masa-masa lebaran.
Memang para pedagang pakaian ini bukan saja berjejer di sepanjang jalan protokol, namun menyelinap masuk ke gang-gang sempit bahkan di bantaran sungai Sindupraja. Keluhan kemacetan banyak disampaikan warga, salah satunya Abdul Jabar (40). Saya paling sungkan kalau membawa motor melintas di hari pasaran Jatibarang, ungkapnya. Sebagai pekerja di kantor sebuah BPR jalan Letnan Joni, ia pernah terjebak macet sampai 20 menit. Untuk menyiasatinya, terpaksa harus melintas ke arah Desa Bulak walau menuju ke kantornya menjadi lebih jauh sekitar tiga kilometeran.
Sejauh ini pengelolaan pasar lemprakan yang datang dua kali dalam satu minggu ini telah berjalan bertahun-tahun. Hubungan saling menguntungkan telah terjalin lama pula, baik pendapatan tukang parkir, keamanan maupun tumbuhnya pedagang-pedagang ikutan di samping menggeliatnya dunia usaha termasuk perbankan.
Jatibarang memang layak menjadi sentra perdagangan, jika diarahkan pada sentra tersebut, bisakah kesemrawutan pedagang diatasi agar menjadi pedagang yang benar-benar terdidik oleh para pemangku kepentingan. Terdidiknya pedagang, salah satu cermin siapnya kota Jatibarang menjadi kota Pendidikan. (khal)
Post a Comment