Musim Paceklik, Minta Sedekah di Masjid dan Perumahan
Indramayu - Masa paceklik atau masa sulit mencari nafkah mulai dirasakan sebagian wong cilik di Indramayu. Agar bisa bertahan hidup, puluhan bahkan ratusan warga terpaksa hengkang ke
Jakarta mencari nafkah.
“Ada yang bekerja jadi pemulung sampah dan barang bekas. Ada juga yang terpaksa jadi peminta-minta alias pengemis,” ujar Ny. Sum, 52 warga Kecamatan Losarang saat dijumpai di halte Jalur Pantura Desa Muntur Kecamatan Losarang.
Ny. Sum, termasuk seorang warga miskin yang hidup prihatin dan bergantung pada orang lain. Di kampung biasa kerja jadi buruh derep. Kerjanya musiman. Saat ini tanaman padi yang akan diderep sudah berkurang. Terpaksa banting kemudi merantau ke Jakarta jadi peminta-minta di sekitar Klender, Jakarta Timur.
Menurut dia, bulan puasa dan lebaran sudah dekat. Kondisi ekonomi keluarga tidak memungkinkan membeli pakaian baru untuk anak-anak. Karena itu dia memutuskan berangkat naik bis ke Terminal Pulogadung Jakarta jadi pengemis atau peminta-minta dari satu rumah ke rumah lain.
“Wilayah kerja” Ny. Sum tak terbatas di kompleks perumahan saja. Dia juga mengikuti rekan sesama pengemis kumpul di masjid-masjid. Bukan melaksanakan salat, tapi mengharap sodaqoh dari para jemaahyang baru turun dari masjid, katanya.
Dir, 49 seorang pengemis asal Kecamatan Arahan mengemukakan, jumlah penghasilan jadi pengemis sehari-hari tidak menentu. Paling kecil pernah dapat Rp 12 ribu dan paling besar pernah dapat Rp 90 ribu. “Selama mengemis di Jakarta, Saya tinggal di tempat sewaan. Biaya
sewanya semalam Rp 2 ribu,” ujarnya.
Gufroni, Tokoh Masyarakat dan mantan anggota DPRD Kab.Indramayu mengemukakan, sebagian wong cilik warga Indramayu yang kerjanya mengemis di Jakarta bukan kali ini saja. Dari zaman dahulu sudah banyak warga miskin di Indramayu yang mengemis atau jadi pemulung sampah di Jakarta.
Dijelaskan, warga yang mengemis ke Jakarta itu bukannya mereka takut kelaparan. Keberangkatan mereka ke Jakarta sebagian terbuai oleh mimpi-mimpi indah bahwa di Jakarta itu mencari uang tidak sulit. Padahal kenyataannya ingin hidup senang yang didambakan oleh mereka tidak pernah jadi kenyataan.
Jakarta mencari nafkah.
“Ada yang bekerja jadi pemulung sampah dan barang bekas. Ada juga yang terpaksa jadi peminta-minta alias pengemis,” ujar Ny. Sum, 52 warga Kecamatan Losarang saat dijumpai di halte Jalur Pantura Desa Muntur Kecamatan Losarang.
Ny. Sum, termasuk seorang warga miskin yang hidup prihatin dan bergantung pada orang lain. Di kampung biasa kerja jadi buruh derep. Kerjanya musiman. Saat ini tanaman padi yang akan diderep sudah berkurang. Terpaksa banting kemudi merantau ke Jakarta jadi peminta-minta di sekitar Klender, Jakarta Timur.
Menurut dia, bulan puasa dan lebaran sudah dekat. Kondisi ekonomi keluarga tidak memungkinkan membeli pakaian baru untuk anak-anak. Karena itu dia memutuskan berangkat naik bis ke Terminal Pulogadung Jakarta jadi pengemis atau peminta-minta dari satu rumah ke rumah lain.
“Wilayah kerja” Ny. Sum tak terbatas di kompleks perumahan saja. Dia juga mengikuti rekan sesama pengemis kumpul di masjid-masjid. Bukan melaksanakan salat, tapi mengharap sodaqoh dari para jemaahyang baru turun dari masjid, katanya.
Dir, 49 seorang pengemis asal Kecamatan Arahan mengemukakan, jumlah penghasilan jadi pengemis sehari-hari tidak menentu. Paling kecil pernah dapat Rp 12 ribu dan paling besar pernah dapat Rp 90 ribu. “Selama mengemis di Jakarta, Saya tinggal di tempat sewaan. Biaya
sewanya semalam Rp 2 ribu,” ujarnya.
Gufroni, Tokoh Masyarakat dan mantan anggota DPRD Kab.Indramayu mengemukakan, sebagian wong cilik warga Indramayu yang kerjanya mengemis di Jakarta bukan kali ini saja. Dari zaman dahulu sudah banyak warga miskin di Indramayu yang mengemis atau jadi pemulung sampah di Jakarta.
Dijelaskan, warga yang mengemis ke Jakarta itu bukannya mereka takut kelaparan. Keberangkatan mereka ke Jakarta sebagian terbuai oleh mimpi-mimpi indah bahwa di Jakarta itu mencari uang tidak sulit. Padahal kenyataannya ingin hidup senang yang didambakan oleh mereka tidak pernah jadi kenyataan.
Post a Comment