Mencoba Bertahan Hidup, Tak Ada Nasi Singkongpun Jadi
Nasib Warga Eretan yang Daerahnya Langganan Banjir Setiap musim baratan, apalagi campur hujan, daerah pesisir Eretan selalu terendam banjir. Imbasnya aktivitas warga menjadi terganggu. Penduduk setempat yang mayoritas berprofesi sebagai nelayan tradisional pun tak bisa melaut. Apa yang dilakukan mereka untuk sekadar menyambung hidup? LAPORAN: KHOLIL IBRAHIM DARI KANDANGHAUR RAUT wajah Reni (38) tampak kusut. Warga Desa Eretan Kulon, Kecamatan Kandanghaur ini, terlihat melamun di tepi jalan raya pantura. Dia tidak merenung sendirian. Bersama warga lainnya, ia hanya bisa melihat dari jauh tempat tinggalnya terendam banjir. Melamun bersama sepertinya sudah menjadi kebiasan warga korban banjir di desa tersebut. Biasanya dilakukan, sambil menunggu genangan air surut. Kadang waktu melamun bersama itu, mereka saling bertanya kapan bantuan datang. Menanyakan bantuan, juga sudah menjadi kebiasaan warga korban banjir. Terkadang juga menanyakan berapa banyak jumlahnya. Apa saja bentuknya, dan kapan bisa diterima. Sebab bagi mereka, dalam kondisi sulit seperti ini urusan perut harus tetap didahulukan. Apalagi bagi para ibu rumah tangga. Mengandalkan penghasilan dari suami dari hasil melaut, sudah tidak bisa diharapkan. Pekerjaan para kepala keluarga mencari nafkah, praktis terhenti akibat musibah banjir. Kebanyakan mereka berharap bantuan bahan pangan yang diterima bisa memenuhi kebutuhan hidup keluarga. Tidak sekadar bantuan cuma-cuma, yang habis dimakan satu hari. “Kalau bisa bagi-baginya (bantuan-red) yang adil. Yang banyak dan tidak hanya cukup untuk sekali makan,” ujar Reni. Lontaran itu terucap lantaran setiap kali memperoleh bantuan dari pemerintah jumlahnya sangat terbatas. Kebanyakan setiap kepala keluarga (KK) mendapat 5 kg beras dan 5 bungkus mi instan. Itupun harus cukup selama banjir masih terjadi yang kadang memakan waktu seminggu. “Gak mesti beras, singkong pun jadi. Yang penting banyak,” lanjutnya. Bagi Reni dan warga setempat, dalam kondisi sulit memprihatinkan seperti sekarang ini, asal bisa mengganjal perut dinilai sudah cukup. Makanya banyak warga memilih mengonsumsi singkong daripada beras. Selain harganya lebih murah, singkong juga menjadi makanan alternatif di kala terjadi musim paceklik. Kuwu Desa Eretan Kulon Delut Amin SPd, membenarkan jika warganya banyak yang mengonsumsi singkong sebagai pengganti nasi. “Yang penting kenyang dan tidak basi. Habis direbus, bisa digoreng. Kalau kondisinya normal lagi, baru bisa makan nasi,” katanya. Bahkan, dirinya mengaku sudah beberapa kali memberikan bantuan singkong kepada warganya. “Kemarin kami bagikan 10 ton singkong untuk 3.100 KK. Masing-masing dapat 3 kilo. Cukup untuk tiga hari,” jelasnya. Menurut Delut, bantuan singkong lebih efektif karena jumlah yang diterima warga lebih banyak. Sayangnya saat ini dia mengaku kesulitan membeli singkong. Padahal dananya sudah disiapkan. (*) |
Post a Comment